Senin, 28 Maret 2016

Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI)

Tentang LEI
Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) adalah organisasi non-profit berbasis konstituen yang mengembangkan sistem sertifikasi hutan yang mempromosikan misi untuk pengelolaan sumber daya hutan yang adil dan berkelanjutan di Indonesia. Sebagai organisasi berbasis konstituen, LEI mempertahankan kemerdekaan dan transparansi, baik yang diperlukan untuk kredibilitas sertifikasi hutan.


Visi:
Menjadi organisasi yang bergerak dalam pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan.


Misi:
1. Mengembangkan kema sertifikasi hutan dan sistem pemantauan untuk pengelolaan sumber daya alam.
2. Mempromosikan dan mendorong pengelolaan sumber daya alam di Indonesia.
3. Mendorong model pengelolaan sumber daya alam multi-stakeholder yang termasuk partisipasi
    masyarakat adat.


Pedoman sertifikasi LEI:
1. Sertifikasi Hutan Alam
2. Sertifikasi Hutan Tanaman
3. Sertifikasi Hutan Masyarakat
4. Lacak balak, sistem pelacakan kayu bulat untuk industri yang mengolah hasil hutan seperti mebel,     plywood, gergajian dan pulp.


LEI memiliki 4 (empat) bidang mewakili pemangku kepentingan hutan Indonesia yang mendukung LEI dalam menggunakan sertifikasi sebagai alat dalam mencapai pengelolaan hutan lestari:
1. Bisnis.
2. Masyarakat Tradisional dan Petani Hutan.
3. LSM.
4. Penduduk.

sumber : heartofborneo.or.id

Sabtu, 26 Maret 2016

Rabu, 09 Maret 2016

Berteman Sepi



Sore ini aku ditemani rintik-rintik air hujan yang semakin sedikit turun bersama gelegar kilatan petir yang menyambar langit. Aku duduk sendirian di sini. Harusnya tidak sendirian, namun aku sendiri yang menyebabkan kesendirianku ini.

Tempat ini cukup ramai jika dilihat dari kejauhan, banyak orang sedang berkumpul bersama teman-temannya sambil menunggu hujan yang mereda. Suara tawa mereka dapat terdengar melalui telingaku. Sedangkan aku hanya dapat bercengkrama dengan hujan dan bertanya sesuatu yang tidak memiliki jawaban, tanpa suara. Aku sendiri dengan pemikiranku.

Hujan kembali mulai terdengar berisik dengan semua kenangan-kenangan yang jatuh bersamanya. Kenangan tempat ini, bersama orang-orang yang aku rindukan. Namun ternyata aku lebih memilih berteman dengan sepi sekarang.

Mungkin sudah satu jam yang lalu aku menunggu di sini, berharap seseorang akan datang dan masih ingin menunggu kehadiranku. Aku menyadari sesuatu, kekecewaan mereka akhirnya datang. Bahkan panggilan yang ku tujukan tidak mereka hiraukan.

Harusnya aku datang lebih awal. Harusnya aku tidak berteman dengan permasalahan dan mengabaikan teman-temanku. Akulah yang menyuruh mereka datang, namun pemikiranku sendiri yang membatalkannya.

Lima jam yang lalu sekelompok orang duduk bersama di sini, ah suara hujan itu mengubah pemikiranku. Aku bahkan dapat membayangkan wajah mereka satu per satu yang tampak gelisah dan kecewa. Ini bukan kali pertama aku melakukan hal ini pada mereka. Mungkin kini mereka lelah menungguku yang tidak kunjung berubah. Masih setia dengan masalah yang tidak ingin aku ceritakan.

Semuanya berawal dari sana, pemikiranku yang tiba-tiba saja mengubah raga ini. Dalam sekejap, aku sang gadis periang menjadi arogan. Aku menangis tanpa mengetahui alasan yang mendasari air mata itu terjatuh. Aku menghiraukan semua sapaan yang ditujukan padaku dan memberi mereka wajah mengerikan, cemberut. Ada masalah sebenarnya, namun jawabannya ada dalam diriku. Pemikiranku tidak mengijinkan aku memikirkan masalah itu.

Kemudian semua itu hilang dan aku kembali menjadi diriku yang biasanya, ramah, ceria dan menyenangkan. Semua teman-teman menyukaiku karena aku selalu memberi energi baik, katanya.  Aku mempertahankan segalanya.

Aku tidak dapat berkata tidak pada setiap pertolongan yang memintaku untuk terlibat. Namun akhir-akhir ini aku banyak mengecewakan orang-orang. Pemikiranku tidak dapat dikontrol dan aku meluapkan segalanya dengan hanya mengurung diri di kamar dengan ponsel yang dimatikan. Berharap orang lain tidak mengetahui masalah ini.

Saat terbangun, kemudian aku menyesali perbuatanku.

Lima jam yang lalu aku menjanjikan mereka untuk bertemu. Saling bercengkrama seperti biasa, karena mereka kecewa aku tidak lagi sama. Sering menyendiri dan lebih pendiam dari biasanya. Aku selalu melakukan itu, dan kemudian pemikiranku menyesali perjanjian itu. Aku sendiri yang melanggarnya, berulang kali.

Aku ingin menangis di bawah hujan ini. Bukan, ini masih aku yang ceria dan kemudian tertekan dengan kondisi ini. Seolah jiwa ini memendam kesediahan yang amat dalam hingga tidak dapat mengeluarkan air mata dan mencoba tersenyum. Saat-saat aku berteman dengan sepi itu, aku membutuhkannya sekarang untuk membuatku menangis. Setidaknya ada hal-hal yang memang terasa melegakan saat aku dan pemikiranku itu, seolah ada sesuatu yang dapat aku luapkan, lalu aku tertidur dan dapat tersenyum kembali.