Tentang LEI
Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) adalah organisasi
non-profit berbasis konstituen yang mengembangkan sistem sertifikasi
hutan yang mempromosikan misi untuk pengelolaan sumber daya hutan yang
adil dan berkelanjutan di Indonesia. Sebagai organisasi berbasis
konstituen, LEI mempertahankan kemerdekaan dan transparansi, baik yang
diperlukan untuk kredibilitas sertifikasi hutan.
Visi:
Menjadi organisasi yang bergerak dalam pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan.
Misi:
1. Mengembangkan kema sertifikasi hutan dan sistem pemantauan untuk pengelolaan sumber daya alam.
2. Mempromosikan dan mendorong pengelolaan sumber daya alam di Indonesia.
3. Mendorong model pengelolaan sumber daya alam multi-stakeholder yang termasuk partisipasi
masyarakat adat.
Pedoman sertifikasi LEI:
1. Sertifikasi Hutan Alam
2. Sertifikasi Hutan Tanaman
3. Sertifikasi Hutan Masyarakat
4.
Lacak balak, sistem pelacakan kayu bulat untuk industri yang mengolah
hasil hutan seperti mebel, plywood, gergajian dan pulp.
LEI
memiliki 4 (empat) bidang mewakili pemangku kepentingan hutan Indonesia
yang mendukung LEI dalam menggunakan sertifikasi sebagai alat dalam
mencapai pengelolaan hutan lestari:
1. Bisnis.
2. Masyarakat Tradisional dan Petani Hutan.
3. LSM.
4. Penduduk.
sumber : heartofborneo.or.id
Senin, 28 Maret 2016
Sabtu, 26 Maret 2016
Kisah Perjalanan Widyawati dan Sophan Sophian
yuk ditonton tentang perkembangan keluarga artis yang mungkin tidak banyak diketahui.
Rabu, 09 Maret 2016
Berteman Sepi
Sore
ini aku ditemani rintik-rintik air hujan yang semakin sedikit turun bersama
gelegar kilatan petir yang menyambar langit. Aku duduk sendirian di sini.
Harusnya tidak sendirian, namun aku sendiri yang menyebabkan kesendirianku ini.
Tempat
ini cukup ramai jika dilihat dari kejauhan, banyak orang sedang berkumpul
bersama teman-temannya sambil menunggu hujan yang mereda. Suara tawa mereka
dapat terdengar melalui telingaku. Sedangkan aku hanya dapat bercengkrama
dengan hujan dan bertanya sesuatu yang tidak memiliki jawaban, tanpa suara. Aku
sendiri dengan pemikiranku.
Hujan
kembali mulai terdengar berisik dengan semua kenangan-kenangan yang jatuh
bersamanya. Kenangan tempat ini, bersama orang-orang yang aku rindukan. Namun
ternyata aku lebih memilih berteman dengan sepi sekarang.
Mungkin
sudah satu jam yang lalu aku menunggu di sini, berharap seseorang akan datang
dan masih ingin menunggu kehadiranku. Aku menyadari sesuatu, kekecewaan mereka
akhirnya datang. Bahkan panggilan yang ku tujukan tidak mereka hiraukan.
Harusnya
aku datang lebih awal. Harusnya aku tidak berteman dengan permasalahan dan
mengabaikan teman-temanku. Akulah yang menyuruh mereka datang, namun
pemikiranku sendiri yang membatalkannya.
Lima
jam yang lalu sekelompok orang duduk bersama di sini, ah suara hujan itu
mengubah pemikiranku. Aku bahkan dapat membayangkan wajah mereka satu per satu
yang tampak gelisah dan kecewa. Ini bukan kali pertama aku melakukan hal ini
pada mereka. Mungkin kini mereka lelah menungguku yang tidak kunjung berubah.
Masih setia dengan masalah yang tidak ingin aku ceritakan.
Semuanya
berawal dari sana, pemikiranku yang tiba-tiba saja mengubah raga ini. Dalam
sekejap, aku sang gadis periang menjadi arogan. Aku menangis tanpa mengetahui
alasan yang mendasari air mata itu terjatuh. Aku menghiraukan semua sapaan yang
ditujukan padaku dan memberi mereka wajah mengerikan, cemberut. Ada masalah
sebenarnya, namun jawabannya ada dalam diriku. Pemikiranku tidak mengijinkan
aku memikirkan masalah itu.
Kemudian
semua itu hilang dan aku kembali menjadi diriku yang biasanya, ramah, ceria dan
menyenangkan. Semua teman-teman menyukaiku karena aku selalu memberi energi
baik, katanya. Aku mempertahankan segalanya.
Aku
tidak dapat berkata tidak pada setiap pertolongan yang memintaku untuk
terlibat. Namun akhir-akhir ini aku banyak mengecewakan orang-orang.
Pemikiranku tidak dapat dikontrol dan aku meluapkan segalanya dengan hanya
mengurung diri di kamar dengan ponsel yang dimatikan. Berharap orang lain tidak
mengetahui masalah ini.
Saat
terbangun, kemudian aku menyesali perbuatanku.
Lima
jam yang lalu aku menjanjikan mereka untuk bertemu. Saling bercengkrama seperti
biasa, karena mereka kecewa aku tidak lagi sama. Sering menyendiri dan lebih
pendiam dari biasanya. Aku selalu melakukan itu, dan kemudian pemikiranku
menyesali perjanjian itu. Aku sendiri yang melanggarnya, berulang kali.
Aku
ingin menangis di bawah hujan ini. Bukan, ini masih aku yang ceria dan kemudian
tertekan dengan kondisi ini. Seolah jiwa ini memendam kesediahan yang amat
dalam hingga tidak dapat mengeluarkan air mata dan mencoba tersenyum. Saat-saat
aku berteman dengan sepi itu, aku membutuhkannya sekarang untuk membuatku
menangis. Setidaknya ada hal-hal yang memang terasa melegakan saat aku dan
pemikiranku itu, seolah ada sesuatu yang dapat aku luapkan, lalu aku tertidur
dan dapat tersenyum kembali.
Langganan:
Postingan (Atom)