Rabu, 02 September 2015

Jamaah Canggung




Sore itu suara kumandang pertanda adzan maghrib sudah terdengar. Namun kami masih berdiskusi untuk menentukan pertunjukan apa yang akan kami lakukan nanti di kemudian hari.
Membosankan.
Aku hanya menjadi pendengar setia. Tidak tahu apa-apa pada awalnya.
“Untuk perlengkapannya sudah siap?” Suara seorang pemuda yang bertanya.
Suara pemuda lainnya yang menjawab. Suara pemuda lagi. Lagi dan lagi.
Kenyataannya memang hampir semua yang hadir di forum diskusi ini adalah laki-laki, selanjutnya hanya aku dan satu teman perempuanku yang sibuk dengan layar laptopnya, tidak memperhatikan sama sekali.
Sesungguhnya ini adalah sebuah forum diskusi para ketua yang sudah jelas ditentukan adalah seorang laki-laki. Tapi aku harus bagaimana ketika tiba-tiba saja ketua kami sedang memiliki sebuah urusan penting dan aku yang harus menggantikannya.
Kebetulan sedang ada waktu kosong. Akhirnya aku menyanggupi dengan menunggu hampir satu jam demi melihat semua ketua dari tiap kelompok hadir semua.
Aku sudah mati kebosanan sejak tadi menunggu.
Namun menunggu kali ini tidak akan ku biarkan lagi. Adzan maghrib sudah meminta kita untuk segera melaksanakan shalat sementara mereka masih berdiskusi karena ketua kelompok terakhir akhirnya datang juga.
Aku berinisiatif untuk terlebih dahulu shalat, sepertinya mereka masih lama. Padahal, waktu untuk shalat maghrib sangatlah sedikit.
Aku mengambil air wudhu, cukup lama bagi seorang perempuan dibandingkan laki-laki. Setelah itu aku bergegas ke sebuah mushola kecil yang terdekat di sana, mushola yang hanya bisa diisi oleh dua shaf kecil dengan imam yang paling depan.
Setelah tiba aku melihat dua orang laki-laki yang akan melaksanakan shalat jamaah, dengan spontan aku berteriak, “Tunggu, ikut jamaah.”
Kami akhirnya shalat jamaah dengan satu orang menjadi imam, satu lagi tepat di belakang imam shaf pertama dan aku sendiri di pojok kanan tepat di shaf kedua. Mushola ini sangat kecil, bahkan tidak ada hijab diantara kami.
Rakaat pertama telah selesai. Tiba-tiba saja sekumpulan ketua kelompok yang tadi sedang berdiskusi mulai berdatangan, mengikuti jamaah kami.
Mereka banyak sekali. Tapi bukan itu masalahnya. Mushola ini terlalu kecil untuk menampung kami. Setelah shaf pertama terisi penuh, beberapa laki-laki akhirnya memutuskan shalat di shaf kedua, bersamaku namun di pojok sebelah kiri. Aku mulai tidak menikmati posisiku sekarang. Shalat jamaah dengan aku satu-satunya perempuan di sana. Bahkan satu shaf dengan laki-laki.
Setelah shalat, mereka yang shalat terlambat mulai mengganti kekurangan rakaat. Sedangkan aku langsung bergegas merapihkan mukena dan keluar dari sana.
Aku melihat teman perempuanku yang masih sibuk berkutat dengan laptopnya, “Kau tidak shalat?” Tanyaku penasaran. Andai dia juga datang ke mushola itu, setidaknya aku punya teman jamaah perempuan di sana.
“Sedang berhalangan.” Jawabnya singkat.
Aku yang masih bimbang dengan kejadian yang barusan terjadi akhirnya bertanya pada temanku yang mengerti melalui media sosial. Karena menunggu jawabannya lama aku bertanya lagi pada dua orang lainnya. Salah satunya malah menertawaiku karena aku yang bisa berada dalam situasi canggung seperti itu. Tapi Alhamdulillah mereka memberikan jawaban yang sama.
Sepulangnya aku juga bertanya pada teman satu kostku seusai kami shalat isya berjamaah. Jawabannya pun sama, kini aku tidak ragu lagi pada kejadian semacam itu. Tapi untuk kedepannya sebaiknya aku hindari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar