Yah. Beginilah rasanya ketika kau hidup bersama
dengan orang lain. Mau tak mau kau jadi tahu bagaimana kebiasaan dan sifatnya setiap
hari.
Persahabatan memang selalu dimulai dengan sesuatu
yang membuatmu nyaman. Ketika pertemuan pertama terjadi, kamu akan mengenal
orang tersebut sebagai seseorang yang ramah dan menyenangkan untuk diajak
berdiskusi. Namun berbeda halnya ketika semua itu terus berlanjut.
Bagaimanapun, baik aku atau siapapun pasti ingin
terlihat baik di mata orang lain. Berusaha sebisa mungkin untuk mempertahankan
citra baik sendiri. Salah satunya dengan memiliki sebuah pertemanan, dan kamu
merasa cocok di dalamnya.
Hal yang sama juga terjadi padaku. Aku berusaha
ramah pada siapapun. Sejujurnya aku tidak pernah bisa sangat dekat dengan seorang
teman, aku suka memiliki banyak teman tanpa harus terikat pada siapapun. Harus
belajar bersama ataupun bermain bersama.
Hingga suatu hari aku bertemu dengan seseorang.
Menurutku ia sangat cocok dengan kepribadianku yang ceria dan mudah bergaul.
Kami berteman dan aku memutuskan semoga selamanya akan begitu.
Tapi yah namanya juga manusia yang terkadang
memiliki salah. Jujur ku akui suatu hari aku melakukan kesalahan padanya.
Semakin lama kita berdiskusi dan saling berbagi pemikiran aku merasa ia yang paling
dominan dalam percakapan kami. Entah mengapa aku malah merasa ia sedikit
memaksakan aku harus melakukan ini, harus melakukan itu. Aku jadi malas untuk
bertanya pendapat padanya lagi.
Suatu hari aku berkata sesuatu mengenai keputusanku.
Aku berbicara pada diri sendiri. Entah mengapa ia yang berada di sampingku
tiba-tiba berkomentar. Komentarnya biasa saja, namun ada sedikit kesan memaksa
di sana yang aku tidak suka. Dengan emosi yang semakin lama semakin memuncak
itu aku membanting sesuatu. Awalnya ia malah tertawa, tidak peduli dengan
kemarahanku. Akhirnya aku pergi dengan wajah marah.
Aku tidak bisa marah. Namun ketika marah itu datang
padaku, aku tidak akan lama memendam semuanya. Setelah pergi, aku menyadari
kesalahanku kemudian lalu kembali padanya untuk menjelaskan sikapku. Ku harap
ia masih bisa tertawa seperti barusan.
Masih dengan malu akhirnya aku memberitahunya dengan
nada yang ku tinggikan. Tidak bermaksud sebenarnya. Tapi gengsi sudah memenuhi
pikiranku.
Sejak saat itu ia mulai berbeda padaku. Ia terlihat
sama bagi orang lain, tetap ramah dan tersenyum. Sekarang ia lebih sering
menyendiri. Ketika aku sengaja ,menyapanya dan bersikap biasa, ia malah cuek
padaku. Hingga kemarahanku semakin menjadi.
“Kamu masih marah padaku? Maafkan aku atas kejadian
tempo hari, aku tidak bisa marah terlalu lama,” kataku mencoba menekan gengsiku
untuk meminta maaf padanya. Namun ia masih saja tetap jutek. Aku menyerah. Aku
hanya bisa menyapanya setiap hari seperti biasanya.
Terkadang aku bingung, apakah aku bodoh atau
semacamnya? Sebenarnya siapa yang sedang marah pada siapa? Harusnya aku juga
marah padanya karena selalu memutuskan apa yang ingin aku lakukan. Tapi
sayangnya, aku tidak bisa menjadi pribadi yang jutek seperti dia. Kadang aku
merasa tidak adil.
Sempat terpikir padaku jika aku juga harus melakukan
hal yang sama padanya supaya ia dapat sadar akan posisiku. Tapi nyatanya, aku
tetap berusaha ceria dan ramah seperti biasa. Aku tidak bisa membalas
perlakuannya padaku.
Ketika sifatnya yang seperti itu muncul kembali, aku
hanya bisa bersabar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar