Senin, 05 Oktober 2015

Sifat Sahabatmu




Yah. Beginilah rasanya ketika kau hidup bersama dengan orang lain. Mau tak mau kau jadi tahu bagaimana kebiasaan dan sifatnya setiap hari.

Persahabatan memang selalu dimulai dengan sesuatu yang membuatmu nyaman. Ketika pertemuan pertama terjadi, kamu akan mengenal orang tersebut sebagai seseorang yang ramah dan menyenangkan untuk diajak berdiskusi. Namun berbeda halnya ketika semua itu terus berlanjut.

Bagaimanapun, baik aku atau siapapun pasti ingin terlihat baik di mata orang lain. Berusaha sebisa mungkin untuk mempertahankan citra baik sendiri. Salah satunya dengan memiliki sebuah pertemanan, dan kamu merasa cocok di dalamnya.

Hal yang sama juga terjadi padaku. Aku berusaha ramah pada siapapun. Sejujurnya aku tidak pernah bisa sangat dekat dengan seorang teman, aku suka memiliki banyak teman tanpa harus terikat pada siapapun. Harus belajar bersama ataupun bermain bersama.

Hingga suatu hari aku bertemu dengan seseorang. Menurutku ia sangat cocok dengan kepribadianku yang ceria dan mudah bergaul. Kami berteman dan aku memutuskan semoga selamanya akan begitu.

Tapi yah namanya juga manusia yang terkadang memiliki salah. Jujur ku akui suatu hari aku melakukan kesalahan padanya. Semakin lama kita berdiskusi dan saling berbagi pemikiran aku merasa ia yang paling dominan dalam percakapan kami. Entah mengapa aku malah merasa ia sedikit memaksakan aku harus melakukan ini, harus melakukan itu. Aku jadi malas untuk bertanya pendapat padanya lagi.

Suatu hari aku berkata sesuatu mengenai keputusanku. Aku berbicara pada diri sendiri. Entah mengapa ia yang berada di sampingku tiba-tiba berkomentar. Komentarnya biasa saja, namun ada sedikit kesan memaksa di sana yang aku tidak suka. Dengan emosi yang semakin lama semakin memuncak itu aku membanting sesuatu. Awalnya ia malah tertawa, tidak peduli dengan kemarahanku. Akhirnya aku pergi dengan wajah marah.

Aku tidak bisa marah. Namun ketika marah itu datang padaku, aku tidak akan lama memendam semuanya. Setelah pergi, aku menyadari kesalahanku kemudian lalu kembali padanya untuk menjelaskan sikapku. Ku harap ia masih bisa tertawa seperti barusan.

Masih dengan malu akhirnya aku memberitahunya dengan nada yang ku tinggikan. Tidak bermaksud sebenarnya. Tapi gengsi sudah memenuhi pikiranku.

Sejak saat itu ia mulai berbeda padaku. Ia terlihat sama bagi orang lain, tetap ramah dan tersenyum. Sekarang ia lebih sering menyendiri. Ketika aku sengaja ,menyapanya dan bersikap biasa, ia malah cuek padaku. Hingga kemarahanku semakin menjadi.

“Kamu masih marah padaku? Maafkan aku atas kejadian tempo hari, aku tidak bisa marah terlalu lama,” kataku mencoba menekan gengsiku untuk meminta maaf padanya. Namun ia masih saja tetap jutek. Aku menyerah. Aku hanya bisa menyapanya setiap hari seperti biasanya.

Terkadang aku bingung, apakah aku bodoh atau semacamnya? Sebenarnya siapa yang sedang marah pada siapa? Harusnya aku juga marah padanya karena selalu memutuskan apa yang ingin aku lakukan. Tapi sayangnya, aku tidak bisa menjadi pribadi yang jutek seperti dia. Kadang aku merasa tidak adil.

Sempat terpikir padaku jika aku juga harus melakukan hal yang sama padanya supaya ia dapat sadar akan posisiku. Tapi nyatanya, aku tetap berusaha ceria dan ramah seperti biasa. Aku tidak bisa membalas perlakuannya padaku.

Ketika sifatnya yang seperti itu muncul kembali, aku hanya bisa bersabar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar