Kamis, 25 Juni 2015

Tidak Ada Liburan

Liburan. Yah, bagiku dan keluarga itu hanyalah sebuah mitos belaka. Tidak ada bepergian bersama, bersenang-senang atau mengunjungi sebuah tempat menarik. Tiap tahunnya selalu seperti ini, tidak ada yang dinamakan liburan.

Aku merasa bosan. Tidak pernah ada sesuatu yang mengejutkan terjadi di tiap tahunnya. Aku hanya menyadari satu hal, liburan itu berarti tidak masuk sekolah dan berdiam diri di rumah. Itu kesimpulannya.

Suatu hari sempat aku bertanya, saat itu usiaku masih belia. Alasan mengapa keluarga kami tidak seperti yang lainnya? Saat itu tetangga sebelah sedang melakukan liburan ke sebuah kebun binatang dan jujur aku menginginkannya. Ayah hanya berkata tidak ada biaya, jelas jawaban tersebut bukanlah jawaban yang ku harapkan.

Aku tumbuh menjadi seseorang yang pemalu. Malu jika harus bergaul dengan teman-teman yang lain di sekolah. Malu jika sepulang liburan mereka membicarakan kesenangan mereka sementara aku hanya bisa mendengarkan saja. Malu jika ... sebenarnya aku tidak melakukan apapun selama liburan.

Selalu seperti ini semenjak aku masuk sekolah. Ketika liburan berakhir hal yang dilakukan ketika hari pertama masuk tahun ajaran baru adalah menuliskan kesan pesan selama liburan oleh guru bahasa Indonesia. Hal ini membuatku muak karena tidak tahu harus menuliskan apa di kertas kosong tersebut.

Kini aku tumbuh dewasa. Tidak ada kenangan indah yang terukirkan di masa lalu. Tidak ada liburan-liburan menyenangkan hingga akhirnya liburan itu menjadi abadi. Ya, aku berhenti sekolah. Tidak ada lagi yang harus ku lakukan seperti belajar. Tidak ada lagi liburan teman-teman yang terpaksa ku dengarkan. Tidak ada lagi kisah-kisah selama liburan yang ku tuliskan. Karena memang semuanya tidak ada, tidak pernah ada.

Kau tahu hal yang ku lakukan untuk menghabiskan waktu selama liburan? Seperti sekarang liburan yang abadi. Aku bekerja. Alasan yang terlalu klise memang untuk seseorang yang terlahir dari keluarga seadanya.

Beberapa bulan yang lalu Ayah jatuh dari tangga tempatnya bekerja. Kakinya kini sulit untuk digerakkan kembali. Aku berinisiatif untuk berhenti sekolah karena harapan untuk membayar biaya kini sudah tidak ada lagi. Ibu dan kedua adikku tidak sanggup berbuat apa-apa.

Setiap hari aku merawat Ayah di tempat tidur sementara Ibu bekerja. Aku selalu melihat raut wajah sedih dalam tidurnya. Mungkin, selama ia hidup hingga sekarang ia tidak pernah merasakan kebahagiaan. Selalu ada beban di pundaknya untuk menafkahi keluarga. Termasuk aku.

Hingga suatu hari aku memutuskan untuk berhenti sekolah di saat itu pula aku bermaksud untuk bekerja. Apapun itu. Aku ingin mengumpulkan beberapa lembar rupiah untuk membawa keluargaku ke kebun binatang. Merasakan liburan yang menyenangkan seperti yang pernah diceritakan orang-orang. Setidaknya aku ingin melihat keluargaku tersenyum tanpa beban. Ya, liburan tahun ini harus berbeda.




Selasa, 23 Juni 2015

Cara Menghadapi Masalah



Ketika kita memiliki sebuah masalah. Kita selalu bingung memikirkan bagaimana cara menyelesaikan masalah tersebut? Tidak jarang bahkan kita menyerah dan akhirnya memilih untuk melarikan diri dari permasalahan itu. Bagaimana cara orang cerdas menghadapi masalah yang mereka miliki?

Pertama, sadari jika setiap orang memiliki masalahnya masing-masing. Jika kamu merasa bahwa kamu adalah orang yang paling malang sedunia. Kamu salah! Masih banyak orang yang memiliki masalah lebih berat daripada kamu, hanya kamu tidak mengetahuinya. tidak sedikit orang yang menyembunyikan masalahnya sendiri dan bersikap baik-baik saja di hadapan orang lain.

Kedua, ubahlah cara pandangmu terhadap masalah yang ada. Jangan anggap sebuah masalah itu adalah hambatan buatmu mencapai tujuan. Berpikirlah lebih positif. Anggap masalah itu adalah sebuah tantangan yang harus kau hadapi untuk masuk ke tingkat yang lebih tinggi. Seperti sebuah sekolah, maka masalah itu adalah ujian supaya kamu bisa naik kelas.

Ketiga, berpikirlah maju, bahwa setiap permasalahan itu pasti ada solusinya. Setiap gembok yang dibuat pasti ada kuncinya. Setiap pertanyaan pasti memiliki jawaban. Mereka semua sudah ditentukan dalam satu paket. Maka jika kamu memiliki sebuah masalah, ingat saja bahwa pasti suatu hari nanti ada solusinya. Jangan lari dari masalah yang kamu hadapi. Lari bukanlah sebuah solusi, hanya saja lari itu bisa menunda atau bahkan bisa memperburuk keadaan. Karena pada hakikatnya jika kamu lari, masalah itu masih akan tetap ada untuk kamu diselesaikan.


Selanjutnya, tentu saja selesaikan masalahmu. Jika kamu masih bingung bagaimana cara menyelesaikannya. Bertanyalah pada orang-orang yang sudah berpengalaman, sebenarnya setiap masalah yang dihadapi orang itu berbeda-beda. Tapi tidak akan melebihi kemampuan kita. Kita diberi masalah itu pasti karena Allah tahu bahwa kita mampu menyelesaikannya. Maka selesaikanlah. Buktikan bahwa kamu bisa menjadi orang yang lebih baik lagi jika kamu mampu berpikir positif dan menyelesaikan permasalahanmu.

Sabtu, 20 Juni 2015

Jangan Terlalu Percaya

Jangan terlalu percaya pada suatu hal baru yang belum kita ketahui sepenuhnya. Hanya bermaksud jaga-jaga saja karena rasanya tidak menyenangkan ketika kita menyesal nanti. Sama seperti sepenggal kisahku yang tidak terlalu menarik.

Siang hari yang panas di bulan Ramadhan aku bermaksud pergi ke kostan temanku. Alamatnya sudah diberikan namun aku belum mengetahui daerah itu. Selepas shalat dhuhur aku pun berangkat sendirian.

Perjalanannya cukup memakan waktu dan aku lebih memilih berjalan kaki karena tidak terlalu jauh jika ditempuh dengan cara seperti ini.

Gang Sampah. Aku mencari nama gang tersebut.

Ternyata aku berjalan terlalu jauh hingga hanya pohon-pohon yang ku temukan di pinggir jalan, aku berjalan berbalik arah dan bertanya pada seorang tukang ojeg di sana.

"Pak, ini gang sampah bukan?" Tanyaku ketika tukang ojeg itu sedang beristirahat.

"Iya, neng," jawabnya singkat. Akhirnya aku menemukan gang ini. Aku tidak bertanya lebih lanjut karena takut ditawari ojeg.

Aku kemudian berjalan memasuki gang tetsebut dan mencari nama sebuah kostan di sana. Pandanganku menemukan seseorang, dari pakaiannya sepertinya mahasiswa. Aku mendekat.

"Permisi teh, kostan ini dimana ya?"

"Oh, kostan ini ada di depan, pinggir jalan raya, nanti balik arah saja lalu belok kanan, catnya berwarna putih nanti juga terlihat." Jawabnya panjang lebar.

"Oh, iya terima kasih." Aku pun berbalik arah dan kembali menelusuri jalan raya yang panas.

Aku tidak menemukan sebuah bangunan besar berwarna putih di sekitar sini. Akhirnya aku memutuskan untuk bertanya kepada seorang ibu-ibu di pinggir jalan.

"Ibu tahu kostan ini? Katanya ada di sekitar sini."

Ibu itu berpikit sejenak, "Setahu ibu kostan itu adanya di gang sampaj neng."

"Iya bu, tadi saya sudah ke sana katanya ada di sekitar sini."

"Di daerah sini tidak ada kostan neng."

Aku bingung. Katanya ada di sekitar sini? Aku pun memutuskan untuk kembali ke gang itu.

Tiba di gang tersebut aku pun memberanikan diri bertanya pada tukang ojeg kembali.

"Masuk saja neng, dekat warung kedua di gang ini." Ternyata teteh-teteh barusan salah. Padahal dia sepertinya yakin.

Aku kembali berjalan di bawah teriknya matahari. Akhirnya nama kostan itu terpampang jelas.

Aku menemukannya.

Pelajaran yang dapat diambil dari kisah ini ; Percaya saja tukang ojeg *mereka kan hapal jalan*


Jumat, 19 Juni 2015

Terbawa Bis yang Salah

Hari sudah sore setelah aku keluar dari ruang ujian. Ah, menyenangkan sekali karena barusan adalah ujian terakhirku di semester ini. Aku bisa menikmati liburanku yang menyenangkan.

Aku berjalan menuju kostanku yang sudah tidak jauh lagi. Tiba-tiba aku melihat sebuah bus IPB tidak jauh dari sini. Aku bermaksud menaikinya.

IPB memiliki fasilitas bus bagi mahasiswa, karena memang IPB itu cukup luas. Ada beberapa fakultas yang memang jauh dari tempat-tempat kost mahasiswa. Namun, jam berkelilingnya hanya tertentu saja. Jadi, jarang menemukan bus IPB jika bukan saat-saat jam kuliah.

Aku beruntung menemukannya saat pulang. Aku pun berniat menaikinya hanya untuk berkeliling saja, merayakan kesuksesanku ujian barusan.

Aku sengaja menaikinya dari pintu belakang dan duduk paling belakang. Aku ingin menikmati keliling IPB dari belakang.

Namun, ada yang aneh. Kenapa penumpangnya ibu-ibu semua? Ah, aku tidak perli merisaukan itu. Aku hanya ikut sekali saja berkeliling.

Bus mulai melaju, aku menikmatinya. Jalannya memutar dan berjalan menuju depan gerbang IPB. Ada beberapa ibu-ibu lagu yang masuk dari gedung kantor IPB.

Aku merekam dari dalam bis. Aku memberhentikan rekamanku ketika menyadari bis mulai keluar dari gerbang IPB menuju jalan raya. Biasanya juga jalurnya tidak pernah keluar kampus. Apa yang terjadi?

Aku menyentuh pundak ibu berkerudung merah di depanku.

"Ibu, ini mau kemana?" Tanyaku pada akhirnya.

Dia melihatku, "Kamu mahasiswa?" Aku mengangguk. "Ini bis karyawan."

Aku panik. Oh ini bis yang sering mengantarkan para karyawan pulang pergi. Apa bedanya dengan bis mahasiswa?

"Jadi bagaimana bu? Saya bermaksud pergi ke kostan," Aku bingung.

"Begini saja, jika di depan bank ada yang naik lagi. Ade buru-buru turun."

Jika? Jika tidak ada? Aku berdoa dalam hati supaya bisnya berhenti lebih awal.

Alhamduillah berhenti.

"Cepat turun de nanti terbawa lagi," secepat kilat aku turun dari bis. Kemudian bis melaju lagi.

Aku menatap kepergian bis tersebut. Mereka pergi kemana ya? Kenapa tidak naik saja? Nanti juga kembali lagi ke sini? Pikirku.

Sudahlah, yang penting sampai ke kostan.

Malam Pertama Ramadhan di Perantauan

Ramadhan. Ah aku benar-benar merindukan suasana itu. Saat tarawih bersama. Saat berbuka dan sahur bersama. Saat bersama-sama bersama keluarga. Itulah yang sebenarnya aku inginkan di Ramadhan tiap tahunnya. Bersama keluarga.

Berbeda dengan Ramadhan tahun ini dan kemarin, kemungkinan tahun berikutnya juga akan seperti ini. Mengawali awal bulan penuh berkah ini di tempat perantauan, Bogor.

Kejadian mengejutkan sempat terjadi. Hal ini diakibatkan karena belum tahunya suasana Ramadhan di tempat ini. Rencanaku untuk mengawali malam Ramadhan dengan makan beberapa makanan yang aku sukai harus menjadi sia-sia ketika warung makan sepanjang jalan yang ku lalui ternyata penuh dengan antrian. Kejadian yang sama juga ketika aku akan membeli ayam goreng untuk menu sahur.

"Maaf, ayamnya kehabisan. Bisa tunggu 8 menit lagi untuk menggoreng?" kata Mbak penjual ayam goreng. Sementara di tempat lain sudah tutup dan antriannya panjang.

Aku belum shalat maghrib. Sudah cukup lama aku berjalan kaki sepanjang sore. Aku memutuskan pulang dan membeli mie saja.

Akhirnya aku hanya ikut makan sambil melihat teman-teman serumahku makan.

"Malam ini tarawih berjamaah di sini kan?" Tanyaku setelah melihat waktu sebentar lagi akan segera adzan isya.

"Malam pertama Ramadhan tarawih di Al Hurriyyah yuk?" ajak salah seorang. Semua orang menyetujuinya, termasuk aku.

Tapi, waktu tidak menunjukkan keberpihakan kita. Perjalanan dari kostan menuju Al Hurriyyah membutuhkan waktu yang cukup lama namun detik-detik menuju adzan isya mulai tiba.

Yang lainnya sudah berangkat terlebih dahulu, sementara aku dan temanku tertinggal.

Ketika keluar rumah, adzan sudah terdengar.

"Allohuakbar Allohuakbar ... "

"Bagaimana ini?" Tanyanya bingung padaku. Aku malah semakin bingung diberi pertanyaan seperti itu.

"Kita tarawih di mesjid terdekat yuk," saranku. Ia menyetujuinya. Kami pun mulai berjalan di sebuah gang. Ketika sudah melewati gang lain kami berhenti.

"Kamu tahu jalannya?" Tanyaku, karena semenjak tadi aku mengikuti langkahnya.

"Tidak," jawabnya.

"Sepertinya lewat sini, dengarkan saja suara adzannya," kataku memberi solusi terbaik. Ia menyetujuinya. Kami pun berjalan memasuki sebuah gang sempit sambil mendengarkan adzan.

Tiba-tiba kami bertemu dua orang ibu-ibu memakai mukena yang sedang berjalan berlawanan arah dengan kami.

"Kita ikuti ibunya yuk?" Saranku lagi. Ia setuju.

Kami pun mengikuti kedua ibu-ibu barusan dan ternyata kami kembali ke jalan yang tadi sempat dilalui.

Tibalah kami di suatu masjid dan tepat seperti dugaanku masjidnya sudah penuh bahkan hingga ada yang shalat di luar halaman.

"Jan, aku mau wudhu dulu, tadi batal di jalan," kata temanku. Aku pun mengantarnya ke tempat wudhu dan ternyata tempatnya dipenuhi laki-laki.

Ada pilihan lain.

"Kita ke masjid di seberang saja yuk, di sana ada tempat wudhu khusus perempuan," Aku mengajaknya berjalan kembali tidak terlalu jauh dan sama saja di sana juga sangat penuh. Tapi setidaknya temanku bisa wudhu dengan tenang di sini.

Aku menyuruhnya wudhu terlebih dahulu, sementara aku mencari tempat kosong.

Ia memasuki tempat wudhu.

Pandanganku ku edarkan ke sekitar. Shalat isya sudah dimulai dan aku belum menemukan sebuah tempat untuk kami berdua. Betapa terkejutnya aku melihat ke arah jalan menuju tempat wudhu sudah dipenuhi orang-orang yang sedang shalat. Saking penuhnya. Bagaimana ia nanti keluar jika tercegat orang-orang shalat?

Aku menemukannya dalam pandanganku sedang berusaha keluar melewati pinggir jalan. Ia berhasil.

"Shalat di dekat tangga saja, itu masih ada yang kosong," aku menemukan sebuah tempat namun sayangnya akses menuju tempat itu cukup sulit. Tidak ada jalan lain kecuali melewati tangga laki-laki. Kami pun menuju ke sana.

Tangganya pun digunakan untuk shalat! Subhanallah sekali awal Ramadhan ini, banyak yang shalat tarawih.

Kami mencari pilihan lain dengan mencari di sekitar halaman masjid. Aku menemukan satu tempat untuk seorang, temanku juga. Kami akhirnya berpisah.

Aku lupa membawa sajadah, untungnya ibu disampingku dengan baik hati berbagi sajadah denganku.

Akhirnya bisa shalat tarawih juga di perantauan ini.

Senin, 15 Juni 2015

Setahun itu Kenangan

Setahun itu bukanlah waktu yang singkat. Setahun itu mempertemukan kita setiap hari saat dalam keadaan lelah akan banyaknya aktivitas. Setahun itu mengenalkanku tentang dirimu, teman sekamarku.

Aku ingat saat pertama kali kita bertemu, di asrama ini. Asrama Putri TPB IPB. Bukan aku yang memilihmu atau kau yang memilihku. Tapi takdir yang mempertemukan kita di sini. Di kamar ini.

Budaya kita berbeda, ku akui itu. Kita membutuhkan waktu yang cukup lama untuk menyesuaikan perbedaan itu. Bahkan terkadang kalian lupa menggunakan bahasa yang digunakan untuk bercengkrama. Aku tidak mengerti.

Tapi ketika waktu semakin berlalu kami saling menyesuaikan diri. Kebiasaan pun sudah saling mengetahui satu sama lain.

Banyak cerita yang sering kita bahas di malam-malam tanpa tugas. Dari hal yang membutuhkan waktu untuk mencernanya hingga hal pribadi yang ringan dibahas. Apalagi jika berbicara masalah jodoh dan pernikahan. Maklum kami sekamar masih single.

Ada juga cerita sedih ketika tiba-tiba saja salah seorang diantara kita merindukan rumah. Kami saling menguatkan untuk bertahan.

Setahun masa-masa itu telah berlalu kawan. Hal yang sering kita lakukan setiap malam kini hanya akan menjadi kenangan. Kita masih tetap akan bertemu di kampus ini namun tidak akan ada cerita-cerita menyenangkan. Mungkin kita hanya akan saling sapa di jalan karena kesibukkan.

Simpan saja kisah itu. Simpan saja cerita itu. Suatu saat nanti mungkin kalian akan merindukanku dengan semua hal yang pernah mengesalkan.

Aku hanya ingin mengucapkan terima kasih karena telah bersedia menjadi teman kamarku dan bertahan hingga sejauh ini. Bahkan ketika orang-orang sudah pergi ke kostan masing-masing. Kita masih bertahan hingga akhir.

Juga maafku yang ingin ku sampaikan. Aku tahu, banyak hal yang ingin kalian katakan padaku, mengenai sikapku, kepribadian burukku. Maaf karena telah membuat kalian kesal selama ini.

Saat setahun yang lalu kita dipertemukan, sudah tertuliskan kisah tentang perpisahan di hari ini.

Special for you...

Nadia Puspita Maharani (Manajemen Sumberdaya Perairan 51 - Fakultas Perairan dan Ilmu Kelautan IPB) asal dari Bekasi.

Yeni Katon Rahmawati Sujarnoko (Ilmu dan Teknologi Pangan 51 - Fakultas Teknologi Pertanian IPB) asal dari Magetan.

Minggu, 14 Juni 2015

Menjadi Pramuda FLP

Berawal dari mimpiku yang ingin menjadi seorang penulis. Aku memulainya di sini. Saat itu aku masih mahasiswa baru di salah satu Perguruan Tinggi Negeri di Bogor. Asalku dari Garut jadi aku belum begitu mengenal kota ini.

Kampus ini mengenalkanku pada banyak hal serta orang-orang yang berbeda pula. Berbagai kebudayaan kami sesuaikan di sini. Hingga suatu hari aku bertemu seseorang, dia berasal dari Karawang dan memiliki mimpi yang sama denganku: menjadi penulis.

Kami banyak berbagi cerita mengenai bidang tersebut. Ternyata penulis favoritnya adalah Tere Liye. Sedangkan aku? Aku hanya ingin menjadi seorang penulis karena setahun yang lalu aku suka membaca fanfiction tentang idola kpop favoritku, Super Junior. Itulah alasan sebenarnya.

Lalu aku mengenal Forum Lingkar Pena.

"Bergabung saja di grup facebook Forum Lingkar Pena," katanya suatu hari padaku. Aku mengikuti sarannya tapi tidak terlalu berdampak apa-apa.

"Forum Lingkar Pena itu apa?" Tanyaku padanya. Ia menjelaskan secara singkat mengenai komunitas tersebut dan ia juga mengatakan bahwa Asma Nadia serta Kang Abik berasal dari sana.

Aku baru saja memulai untuk menyukai Asma Nadia, alasannya karena buku-bukunya sudah ada yang difilmkan meskipun aku tidak banyak membaca bukunya.

Suatu hari aku melihat seseorang yang menggunakan almamater Forum Lingkar Pena.

"Ini apa mbak?" Tanyaku penasaran. Ia adalah seorang mahasiswa S2 yang ku kenal.

"Mbak ikut Forum Lingkar Pena Yogyakarta dulu," katanya. Memang mbakku yang satu ini mengambil S1 di Perguruan Tinggi di sana. "Forum Lingkar Pena Bogor ada kan?" sambungnya lagi. Aku tidak bisa menjawab. Entahlah aku pun tidak tahu.

Hingga suatu saat aku dipertemukan dengan sebuah pengumuman mengenai pendaftaran Forum Lingkar Pena yang sengaja aku cari. Aku penasaran.

Awalnya aku ragu karena takut bentrok dengan agenda biasaku setiap hari Minggu. Aku pun mengajak temanku yang juga mengetahui mengenai FLP, tapi ia juga masih bingung dan memutuskan untuk tidak ikut. Aku masih penasaran.

Dengan berbekal rasa ingin belajar yang tinggi, meskipun aku merasa bahwa aku tidak terlalu baik dalam bidang ini, akhirnya aku mendaftarkan diri.

Pertemuan pertama saja sudah bentrok dengan agenda, tapi aku memprioritaskan kelas perdana ini. Aku harap ini memang yang terbaik. Namun rasa minder itu muncul lagi ketika bertemu orang-orang yang sudah hebat dalam menulis.

"Kenapa ikut FLP? Sudah pernah karyanya terbit?" Tanyaku di kelas itu, aku berusaha menbaur. Kami di sini disebut kelas pramuda, kami belum diangkat menjadi anggota resmi FLP. Harus mengikuti beberapa tahap.

"Aku pernah ikut lomba membuat cerpen dan juara 3 nasional." Jleb! Hebat sekali, aku bahkan ada di sini tidak tahu apa-apa.

Pertemuan kedua aku tidak mengikutinya karena ada agenda yang berhubungan dengan beaaiswa, aku tidak ingin mencari masalah.

Memang benar apa yang pernah dikatakan panitia FLP saat pertemuan pertama kami. Biasanya akan ada seleksi alam di kelas pramuda ini, karena menulis itu harus dibiasakan.

Banyak hal yang terjadi di setiap pertemuannya. Mulai dari pertemuan artikel yang banyak memberi kejutan tiap harinya dan selalu harus mengirimkan hasil hingga pertemuan cerpen yang menyenangkan.

Ada banyak cerita dibaliknya. Kisah yang paling penuh perjuangan itu ketika aku harus bulak balik Rektorat - Common Class Room beberapa kali hanya untuk meminta surat ijin karena di hari yang bertepatan dengan pertemuan FLP ada agenda wajib. Akhirnya aku menggantinya di hari lain.

Kelas pramuda ini mengajarkanku banyak hal. Bahwa menulis itu harus dibiasakan supaya semakin hari tulisan kita pun akan semakin tertata rapi.

Hingga saat akan tiba dipertemuan terakhir. Beberapa syarat lulus dari kelas pramuda ini harua terpenuhi, salah satunya tugas tiap pertemuan, untungnya aku sudah mencicil namun tugas terakhir mengenai resensi belum ku kerjakan. Malam itu aku mengedit semua tugasku hingga larut.


Sabtu, 13 Juni 2015

Salah Belajar

Hari ini adalah hari kesekian aku akan Ujian. Semalaman aku telah begadang untuk belajar Pengantar Psikologi, salah satu mata kuliah yang aku sukai. Aku optimis bisa dalam ujian kali ini, tidak seperti ujian-ujian sebelumnya yang memusingkan kepala.

Beberapa jam menuju ujian aku bermaksud untuk mandi lebih cepat, karena memang biasanya kamar mandi akan penuh jika aku mandi menjelang waktu menuju ujian.

Tepat di depan kamar aku bertemu tetangga kamarku, maklum lah namanya juga kostan jadi kami tinggal dalam satu rumah.

"Semangat ya yang ujian Pengantar Ilmu Keluarga," katanya padaku dengan nada riang. Dia pun berlalu ke kamar mandi juga, aku terdiam sejenak. Dia bilang Pengantar Ilmu Keluarga? Apa aku salah dengar? Bukankah hari ini ujian Pengantar Psikologi?

Aku berjalan menuju kamar mandi dengan kebingungan.

Bukankah dia itu berbeda jurusan denganku, tapi kenapa dia tahu Pengantar Ilmu Keluarga? pikirku.

Dalam kamar mandi aku masih sibuk berpikir, karena ingin memastikan keraguanku aku mandi lebih cepat.

Setelah tiba di kamar aku mencoba mencari-cari daftar ujian yang ku tuliskan di salah satu buku pelajaran. Betapa terkejutnya aku ketika ku dapati bahwa hari ini memang ujian Pengantar Ilmu Keluarga! Sedangkan Pengantar Psikologi baru akan ujian keesokan harinya.

Aku panik! Melihat waktu menunjukkan tinggal beberapa menit lagi menuju ujian dimulai. Aku segera membuka-buka kembali materi dan beberapa catatan. Bahkan ketika memakai baju pun aku masih sempat-sempatnya membaca.

Akhirnya aku pasrah! Beberapa temanku sudah datang untuk pergi bersama ke tempat ujian. Baiklah, aku pergi sekarang.

"Ceritakan padaku apa yang kau pelajari di Pengantar Ilmu Keluarga?" kataku berharap sedikit bisa memahami jika mendengarkan.

Selama perjalanan menuju tempat ujian aku mendengarkan temanku bercerita hingga akhirnya aku tiba di tempat ujian.

Aku berharap sedikit mengerti materi tadi pagi dan ternyata soalnya essay semua! Saatnya mengarang bebas, aku menangis dalam hati.

Entahlah apa yang sedang ku tuliskan sekarang. Aku hanya berharap tulisanku sedikit agak banyak supaya mendapat nilai yang lumayan, upah nulis.

Detik-detik menuju waktu berakhir beberapa temanku sudah mulai mengumpulkan berkas ujian. Tak sengaja aku lihat lembar jawaban seseorang. Banyak sekali jawabannya, sementara aku? Ah mau ditambahkan apa lagi?

Aku menyerahkan berkas ujianku pada pengawas, entah bagaimana nanti hasilnya. Setidaknya aku sudah berusaha.

Pengumunan hasil ujian dibagikan. Nilaiku memang sesuai dugaan akan sedikit mengecewakan tapi tidak ku kira orang yang menjawab dengan jawaban yang panjang itu memiliki nilai di bawahku.

Tapi semua ada hikmahnya, malam harinya aku bisa tidur nyenyak karena sudah belajar Pengantar Psikologi.

Catatan :
Kejadian sebelum ujian Pengantar Ilmu Keluarga.

"Jan, minjem buku Pengantar Ilmu Keluarga," kata seorang teman yang tiba-tiba saja membuka pintu kamarku. Kami satu kostan juga.

"Ada di atas meja, ambil saja," kataku masih sibuk berkutat dengan buku Pengantat Psikologi.

"Oke, aku pinjam ya," katanya kemudian mengambil buku itu di meja belajar lalu pamit pergi.

Aku bergumam pelan, "Rajin sekali sudah belajar Pengantar Ilmu Keluarga," dan kejadian pagi itu pun terjadi.

Salah Sangka

Sore itu di lorong yang mulai sepi aku berjalan. Entah mengapa rasanya lorong ini lebih gelap dari sore-sore sebelumnya. Mungkin karena para penghuninya sudah mulai pergi meninggalkan asrama. Yah, sebentar lagi kami akan diusir karena pergantian penghuni baru. Rasanya baru kemarin aku berada di sini.

Suara langkahku menggema. Kamarku masih cukup jauh dan harus menaiki tangga terlebih dahulu. Aku melihat sekeliling dan tak ku temukan siapapun di sana. Penghuni lorong ini sudah benar-benar tidak ada? Padahal lorong kami masih tersisa beberapa orang.

Aku jadi cemas. Lorong berikutnya juga gelap. Tidak adakah yang berinisiatif menyalakan lampu? Pikirku. Tiba-tiba kakiku menendang sesuatu, entah itu apa?

Sesuatu dari mataku jatuh. Semuanya tampak lebih bercahaya. Ternyata aku menggunakan kacamata hitam semenjak tadi.

Jumat, 12 Juni 2015

Masalah Kegemukkan

"Kok kamu terlihat semakin gemuk?"

"Pipimu tembem sekali."

"Sudah lama tidak bertemu, semakin subur saja."

Berbagai macam kata-kata bermakna serupa mulai terdengar. Aku yang memang sudah lama tidak berjumpa dengan mereka harus menerima kenyataan pahit bahwa aku sudah berubah dari sebelumnya : bertambah berat badan!

Baiklah ku akui itu memang benar. Timbanganku naik 5 kilogram semenjak aku pindah beberapa bulan lalu. Tapi, apa penyebabnya?

Seingatku aku makan dua kali sehari bahkan terkadang aku makan hanya sekali saja karena terlalu sibuk dengan banyak hal.

Selain itu aku juga banyak pikiran, banyak tugas yang harus aku kerjakan dengan waktu yang relatif singkat.

Jadi, apa masalahnya?

Aku kasihan dengan teman sekamarku yang menjadi korban. Setiap bertemu seseorang dan dia berkata bahwa aku semakin membesar, aku selalu menanyakan pada teman sekamarku.

"Memang benar aku semakin gemuk?" Tanyaku. Dan pertanyaan serupa itu akan terus berulang hingga aku mendapatkan jawaban "Tidak, kamu kurus," atau "Mereka mungkin salah penilaian," tapi kedua jawaban itu tidak pernah aku dapatkan. Teman sekamarku memang terlalu jujur.

Aku mendesah. Malam itu terjadi lagi. Seseorang berkata mengenai berat badanku ketika perjalanan pulang.

Dengan secepat kilat aku berlari menuju kamarku dan ku dapati dia yang sedang belajar untuk ujiannya besok.

"Aku memangnya gemuk?" tanyaku untuk kesekian kali. Ia hanya mengangguk, tatapannya mengarah pada buku bacaan di depannya.

Aku meminta bantuannya untuk memfotoku seluruh badan. Aku tidak merasa semakin gemuk. Namun pikiranku itu kembali ku ubah setelah melihat foto hasil jepretan tadi. Ini aku kan?

Baiklah, sudah cukup! Aku lelah dengan semua penilaian orang terhadapku. Aku segera mengambil posisi sit-up, beberapa kali melakukannya kemudian mengambil posisi push-up. Temanku hanya menatapku aneh, tatapan untuk orang yang sedang berolahraga di malam hari dan di dalam kamar.

Aku kelelahan.

Tidak berapa lama kemudian aku ketiduran.

1 jam..

2 jam..

3 jam..

4 jam..

5 jam..

6 jam..

7 jam..

8 jam..

>8 jam..

Aku masih tertidur padahal sebelumnya aku sudah makan malam.

Rabu, 10 Juni 2015

Antara Mimpi dan Kenyataan

Aku tertidur di siang hari yang panas. Saking panasnya aku memutuskan untuk tidur di lantai karena aku juga malas untuk naik di kasur atas, kasur bertingkat dan aku mendapatkan tempat di atas.

Kamar ini ditempati oleh 4 orang dan memiliki 2 kasur bertingkat di ujung kiri kanan. Tempatnya cukup luas, bahkan ada lantai yang biasa ku jadikan tempat tidur jika malas naik ke kasurku yang berada di atas.

Aku ingat, siang ini kamar hanya diisi oleh 3 orang. Aku sendiri yang sedang mencoba tidur dan kedua teman kamarku yang sedang berbincang. Tiba-tiba pintu kamar diketuk seseorang, aku masih belum tertidur namun mataku sudah terpejam.

Tak lama terdengar suara pintu terbuka, suaranya seperti suara 2 orang perempuan yang memasuki kamar lalu ikut berbincang.

Aku tidak tahu pasti yang mereka bicarakan, tapi aku mendengar seseorang diantara mereka berkata, "Minggu ini akan ada jalan-jalan tapi hanya beberapa orang saja yang diajak, aku tidak tahu sebabnya." katanya.

Aku yang merasa terganggu ketika hendak tidur tiba-tiba saja berceloteh, masih dengan mata terpejam, "Memangnya kenapa dengan jalan-jalan? Menghabiskan uang saja untuk hal yang tidak berguna. Jalan-jalan? Jalan saja mengelilingi daerah sini, itu juga namanya jalan-jalan bla bla bla." Entah apalagi yang ku ucapkan kala itu, aku bahkan lupa lagi karena setelah itu aku tertidur.

Aku terbangun, mataku terbuka dan hanya melihat kedua teman sekamarku yang masih sibuk mengobrol. Aku ingin menyuci mukaku dan entah mengapa ada sebuah kran air di atas tempat tidur bawah, aku pun menyalakannya.

Air pun keluar namun karena airnya jatuh ke tempat tidur yang bawah aku malah tersenyum, "Eh, basah," Entah mengapa aku yang dulu memang menginginkan tempat tidur di bawah malah merasa senang ketika tempat tidurnya basah. Pemiliknya memang tidak ada di sini sekarang, kami sedang bertiga di kamar.

Ketika aku ingin menghentikannya airnya malah mengucur dengan deras, mungkin salah arah mematikannya pikirku. Namun setelah ku balikkan arah air itu hanya berhenti sebentar lalu mengucur lagi, begitu seterusnya.

"Bagaimana ini?" kataku pada kedua teman sekamarku.

Mengerti akan situasi saat ini, aku yang mencoba menahan air supaya tidak mengucur deras dengan tanganku, salah satu dari mereka pergi mencari bantuan.

"Aku akan mencari orang yang bisa membenarkannya," Ia kemudian pergi.

Satu lagi berusaha menyelamatkan barang-barang kami supaya tidak terkena air. Sedangkan aku masih menahan air dengan tanganku tapi airnya masih deras, bahkan sekarang membasahi kepalaku.

Tak berselang lama kemudian temanku dan salah satu tetangga kami datang. Aku memperlihatkan air yang masih mengucur. Kedua temanku pamit mencari alat-alat untuk membantu pekerjaan bapak ini.

Aku masih memegang kran yang berpipa itu namun karena terlalu keras menariknya, pipanya terlepas.

Anehnya, tidak ada air yang mengalir dari pipa yang panjang tersebut. Air dari krannya pun berhenti.

"Kok tidak ada airnya neng? Tadi kan mengalir?" Pertanyaan bapak itu hanya aku jawab dengan gelengan kepala. Aku pun tidak tahu alasannya.

Tiba-tiba kran yang ku pegang berputar sendiri. Bapak itu kaget, "Kok bisa berputar sendiri neng?"

"Aku juga tidak tahu pak," Krannya masih berputar dengan tidak wajar. Bapak itu memutuskan untuk keluar dari kamar ini dengan wajah yang ketakutan. Aku terpaku sendirian.

Aku terbangun dan ku dapati teman sekamarku yang sedang tiduran di kasur basah tadi. Tapi kasurnya kurasa baik-baik saja. Suara hujan yang cukup deras di luar kamar terdengar.

Aku melangkah ke kasur itu lalu kemudian terlelap kembali.

Suara seseorang yang memasuki kamar terdengar. Aku mencoba membuka mata dan kudapati diriku tertidur di kasur atas.

"Kau baru bangun dari tadi? Maaf tadi kami pergi dulu sebentar jadi meninggalkanmu sendirian." Katanya sambil menenteng sebuah kresek putih berisi air minum.

Sepertinya aku haus.

Selasa, 09 Juni 2015

Bangun Kesiangan

Suara alarm itu terdengar di telingaku, ya aku bisa mendengarnya. Namun entah mengapa tubuhku rasanya enggan bergerak untuk sekedar mematikan suara itu. Suara itu bagiku bagaikan nyanyian nina bobo yang menyuruhku kembali tertidur.

"Tiiiiiiittt tiiiiiiittt," beberapa menit setelah suara itu terdiam, akhirnya berbunyi kembali. Namun untuk sekarang tidak terlalu lama, tiba-tiba mati lagi begitu saja.

"Banguuuuunn...." kini hadir suara berbeda. Aku samar melihat seseorang namun ku biarkan.

Entah berapa lama kemudian, aku terbangun karena ingin pergi ke kamar mandi. Aku membuka mataku lalu kemudian tanganku meraba-raba mencari ponsel.

Saat ku tatap layar ponsel itu betapa terkejutnya aku melihat waktu yang tertera di sana. "Kalian tidak membangunkanku," gerutuku pada kedua teman sekamar yang sudah terlihat rapi untuk pergi pagi itu.

Mereka hanya diam. Sibuk melanjutkan aktivitas.

Aku melihat pengaturan alarm, "Kenapa alarmnya tidak berbunyi?" Tanyaku pada diri sendiri.

Salah satu teman kamarku berdecak, "Alarmmu berbunyi. Kami yang bangun, tapi kau tidak merasa terganggu sama sekali."

"Aku juga sudah mencoba membangunkanmu," kata salah satunya lagi.

"Benarkah? Aku kira tadi itu hanya mimpi," kataku membela. "Baiklah, mulai besok aku akan berjuang untuk bangun pagi."

Pagi berikutnya, "Tiiiiiittt tiiiiiiittt," suara yang tidak asing lagi itu kembali menggema di kamar

Dan kejadian itu pun terulang kembali.

Senin, 08 Juni 2015

Kekuatan Mimpi

Malam ini akhirnya kami bisa berkumpul bersama kembali. Meskipun berada di kampus yang sama namun kesibukkan di akademik dan organisasi membuat kami jarang bertemu.

Berbagai bahan perbincangan menjadi obrolan kami. Bermula dari tujuan yang sama akhirnya dipertemukan kembali di sini. Awalnya tidak pernah terbayangkan jika kami bisa berada di kampus ini. Mungkin mimpi dan usaha maksimal yang membuat kami bisa ada di tengah-tengah ribuan orang ini, saling mengembara dengan caranya masing-masing. Lalu kemudian bertemu dan berbagi cerita. Ternyata mimpi itu nyata.

Kekuatan mimpi. Ya, aku menyebutnya demikian. Bukan hanya cukup dengan bermimpi saja namun dengan berbagai macam tahapan-tahapan usaha menuju ke sana. Jika sudah memiliki mimpi dan tujuan yang pasti kita tidak perlu bingung memikirkan langkah yang terbaik untuk mencapai mimpi tersebut.

Jadi, bagaimana dengan dirimu? Mulailah bermimpi! Jika kami bisa melakukannya berarti kamu pun sama.

Minggu, 07 Juni 2015

Pesan Terabaikan

Pagi ini sebuah pesan tiba-tiba saja masuk ke handphoneku. Bukan dari seseorang, melainkan dari operator layanan kartu yang aku gunakan. Biasanya selalu ku abaikan begitu saja karena terkadang pesan itu hanyalah sebuah iklan supaya kita membeli paket yang disediakan operator yang menurut pandanganku cukup mahal dengan jangka waktu yang selalu ditentukan.


Namun, aku menjadi penasaran. Setelah paket data ku aktifkan tidak ada satupun pemberitahuan dari media-media sosial yang biasanya ku gunakan. Bagaimana pun aku hanya menjadi seorang pembaca saja. Jarang mengungkapkan pendapat di tengah percakapan banyak orang. Hanya mengamati.