Dulu, ketika aku belum memiliki
Android dan beberapa media sosial yang ada di dalamnya. Aku selalu pergi untuk
melaksanakan rapat. Rasanya menyenangkan ketika saling berbagi ide
masing-masing sambil tertawa bersama, meskipun saat itu mungkin ada beberapa
orang yang hadir namun tidak memberikan idenya. Setidaknya kita tahu bahwa
mereka juga memiliki komitmen dan menyerahkan segala keputusan pada tim.
Saat itu, aku tahu hal-hal apa saja
yang menjadi tugasku dalam tim ini. Aku mendapatkan jobdesk yang jelas dengan
waktu yang juga ditentukan supaya tidak molor dari jadwal yang seharusnya.
Hasil rapat dibacakan di akhir dan
menjadi ringkasan dalm mengakhri pertemuan menyenangkan ini.
Suatu hari, keadaan sedikit demi
sedikit mulai berubah. Ketika kami berkumpul bersama dan membicarakan hal-hal
yang ingin dibahas, ketua divisi kami berkata “Boleh minta akun ---?” (salah
satu akun media sosial yang biasanya ada di Android). Satu per satu anggota tim
kami saling bertukar akun, sementara aku hanya terdiam dan dengan tegas
mengatakan aku tidak memiliki Android. Aku merasa harganya terlalu mhal untuk
ku beli sekarang.
Salah satu komunikasi yang ku
andalkan adalah pesan teks. Aku menunggu kelanjutan kinerja kami melalui itu, rindu
saat-saat kita berkumpul dan membahas amanah rasanya bukanlah merupakan sesuatu
yang berat. Karena aku menikmatinya.
Kami berkumpul kembali. Namun ada
beberapa hal yang berbeda dari biasanya. Mereka membahas sesuatu yang tidak ku
ketahui sebelumnya, aku tertinggal informasi yang berharga namun aku tidak
sempat menanyakan hal tersebut. Seperti ada sebuah obrolan yang ku lewatkan dan
ku rasa obrolan itu melalui grup yang katanya sudah mereka buat.
Aku jadi merasa kurang nyaman
dengan situasi ini dan beberapa kali suasana tersebut terjadi. Aku bertekad
mengumpulkan biaya untuk membeli Android, sepertinya barang itu memang harus
dimiliki supaya informasi apapun tidak ku lewatkan.
Saat biaya itu terkumpul aku harus
tetap memikirkan dana yang keluar. Apakah nantinya berpengaruh pada yang
lainnya karena dana tersebut terpakai. Alhasil aku hanya membeli sebuah Android
dengan harga yang termurah dan cukup baik menurut pandangan teman-temanku.
Menyenangkan memang, berbincang
melalui media sosial tanpa perlu bertemu. Aku menikmatinya. Hal ini membuatku
malas untuk sekedar bertemu karena apapun bisa diselesaikan melalui media
sosial dan email. Bahkan tugas pun demikian.
Lama kelamaan, semakin hari grup
yang aku miliki di media sosial semakin banyak. Apapun itu, selalu dibuat grup.
Aku menjadi pusing ketika banyak chat yang masuk dan itu hanya berasal dari
orang-orang yang sedang mengobrol di grup,
tidak ada hubungannya dengaku. Terlalu banyak chat grup yang masuk
membuatku sering mematikan pemberitahuan.
Kejadian yang terus berulang itu membuatku ketika
melihat grup sekarang memiliki banyak sekali percakapan, kadang membacanya.
Namun karena malas semakin hari percakapan semakin banyak dan akhirnya aku
hanya bisa membukanya, Android murahku jadi ngehang.
Ada beberapa hal yang tanpa
disadari telah terjadi. Kini intensitas bertemu dalam sebuah tim yang terbentuk
menjadi sangat jarang. Beberapa hal yang harus dibicarakan secara tim, kini
mulai tergantikan dengan rapat online yang tidak semuanya bisa hadir atau sekedar
memberi idenya. Apalagi jika hanya dibaca tanpa dijawab. Kami mengerti, namun
kami mengabaikannya.
Mungkin ini salahku dengan
perasaanku yang merasa tidak dianggap lagi dalam sebuah tim. Karena komitmen
kini diukur melalui seberapa sering mereka chat di grup. Pertemuan biasa
menjadi terabaikan, aku ketinggalan banyak informasi yang dibahas di grup
tersebut. Aku yang jarang hadir untuk menuliskan chat menjadi seolah tidak
bermanfaat. Hingga akhirnya keputusan ini menjadi bulat. Aku ingin keluar dari tim
ini.
Berat rasanya mengambil keputusan
tersebut setelah sekian lama kami bersama. Bersama melalui media sosial saja,
pertemuan itu hanyalah ketika kami tidak sengaja berpapasan di jalan saja.
Saling sapa, saling basa-basi bertanya.
Keputusan ini berakhir dan aku
meminta maaf berkali-kali karena tidak bisa berkontribusi banyak. Namun aku
juga bersyukur, pikiranku yang selalu terngiang-ngiang ketika aku melihat grup
di media sosial itu akhirnya terhenti. Rasanya suatu hari nanti aku ingin
membuang akun tersebut.
Entahlah, kini aku menjadi malas
mengikuti apapun. Dimana pun, media sosial ini selalu ada. Memudahkan tapi
membuatku tidak nyaman. Mungkin suatu hari nanti aku akan menemukan sesuatu
yang benar-benar aku inginkan dan saat itu datang aku akan memberikan
kontribusi dan komitmen terbaikku. Media sosial tidak akan lagi menjadi sesuatu
yang menjauhkan kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar